Adakah Anda memperhatikan kelahiran anak pertama di rumah sakit, akhir-kahir ini? Jika belum, lakukanlah! Anda akan melihat fenemena baru yang terjadi disana, sebagai dampak dari kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Saya menemukan beberapa kali, orang
tua si bayi yang baru lahir tersebut melakukan hal yang sangat berbeda
dengan apa yang saya lakukan terhadap kelahiran anak pertama saya tiga puluh tahun yang lalu. Sekarang, sang ayah, begitu anaknya lahir mengambil hand phone (HP) dan mengirimkan Short Message Service
(SMS) untuk sanak saudara, karabat dan kenalan lainnya. Inti pesannya
adalah memberitahukan bahwa anaknya telah lahir dan dilengkapi dengan
data kuantitatif berupa berat, panjang dan data lainnya. Dalam hitungan
detik, teks dari pesan tersebut sudah sampai ke si alamat. Sang ibu
lain lagi, sambil memeluk bayinya mengambil HP dan membidik anaknya
untuk difoto. Foto tersebut dikirim juga ke karabat, saudara dan
kenalannya. Juga dalam hitungan detik, image dari foto tersebut sudah
dapat dilihat oleh penerimanya. Yang ingin saya sampaikan dari kasus ini
adalah bahwa anak begitu lahir bahkan sebelum lahir di era ini sudah
melihat kemajuan TIK. Perlu dicatat bahwa bayi ini dalam selang waktu
enam tahun yang akan datang akan bersekolah dan berintekraksi dengan
guru. Bayangkan apa yang akan terjadi bilamana gurunya tidak mengikuti
kemajuan TIK bahkan masih gagap teknologi, tak bisa komputer dan tak
familiar dengan sistem digital.
Oleh
sebab itu sekolah sebagai institusi pencetak generasi yang hidup dimasa
mendatang harus mempunyai keperdulian terhadap perkembangan yang
terjadi tersebut. Jika tidak, maka anak-anak yang kita didik akan
tertinggal dengan perkembangan zaman karena perkembangan TIK tidak
mempunyai toleransi. Pilihannya hanya dua, yaitu mampu beradaptasi dan
mengadopsi atau tertinggal ke belakang. Guru sebagai ujung tombak di
sekolah pada era ini dan era selanjutnya ditantang untuk melakukan
akselerasi terhadap perkembangan TIK yang dapat mengubah infromasi baik
yang tadinya berwujud tulisan, gambar, maupun suara menjadi wujud
kumpulan lambang bilangan 0 dan 1, yang sering disebut digital. Dalam
bentuk baru semacam ini informasi tersebut dapat diproses dengan
peralatan yang namanya processor yang terdapat pada mesin komputer.
Sebagian besar bahan ajar dimasa depan akan berbentuk digital, sehingga
kertas tidak diperlukan lagi.
Proses
pembelajaran mengaplikasikan TIK yang berbasis internet dengan bahan
ajar digital menyebabkan terjadinya pergeseran proses belajar mengajar
(PMB) dari yang biasa dilakukan guru. Rosenberg menyebutkan lima
pergeseran tersebut, yakni: pergeseran dari pelatihan ke penampilan,
pergeseran dari ruang kelas ke dimana dan kapan saja PMB dapat
dilaksanakan, pergeseran dari kertas ke digital dan online sehingga paperless atau tanpa kertas, pergeseran dari fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja atau populer dengan sebutan network, dan dari waktu siklus ke waktu nyata.
Disamping
itu juga terjadi pergeseran paradigma PBM yang dianut sekarang kepada
konstruktivisme. Jika selama ini proses belajar di sekolah lebih
ditandai oleh proses mengajar guru melalui ceramah dan proses belajar
peserta didik melalui menghafal. Pengawasan terhadap keberhasilan
mengajar selama ini lebih didasarkan pada tingginya ‘daya serap’ dalam
pengertian yang sangat sumir akan ditinggalkan. Guru bukan lagi sebagai
sumber belajar utama yang menyampaikan informasi atau bahan ajar dimana
peserta didik dianggap sebagai gelas kosong yang siap diisi. Paradigma
baru, peserta didik dianggap telah memiliki pengetahuan awal, dan tugas
guru hanya mengkonstruksinya saja. Peserta didik dianalogikan tanaman
yang sudah punya potensi untuk tumbuh dan berkembang, sedangkan guru
hanya berfungsi sebagai penyiram yang membantu tanaman tumbuh dan
berkembang dengan baik. Akibatnya, peran guru dalam mengajar berubah
dari pengajar menjadi fasilitator dengan model pembelajaran yang
berpusat pada siswa (student center), tidak lagi berpusat pada guru (teacher center).
PBM mendatang bersifat memandirikan siswa dalam mengeksplorasi rasa
keingintahuan mereka dengan pendekatan memecahkan masalah yang diberikan
guru.
Konsekuensi
dari bergulirnya paradigma konstruktif ini berdampak terhadap sumber
daya belajar, diantaranya perpustakaan sekolah dan sumber daya fasilitas
teknologi informasi sekolah termasuk fasilitas internet. Kita tidak
menutup mata akan kondisi sekolah saat ini yang sangat memprihatinkan.
Sekolah dihadapkan pada kenyataan bahwa sumber belajar yang ada di
perpustakaan sangat terbatas. Koleksi buku dan compact disc
(CD) yang dimiliki sekolah tidak memadai bahkan kalaupun ada sudah
usang atau kadaluarsa. Pembaharuan koleksi buku dan CD tentu memerlukan
biaya yang sangat besar dimana sekolah tidak akan sanggup membiayainya.
Kondisi ini tidak harus ditangisi, tetapi dengan kreatifitas dan inovasi
guru terutama dengan menggunakan TIK dalam proses pembelajaran akan
dapat membantu mengurangi permasalahan tersebut.
Alasannya, percaya atau tidak telah terjadinya revolusi pengetahuan dimana dunia sudah semakin go digital. Makin banyak buku yang telah dirubah ke dalam format digital book dan dengan mudah diakses melalui situs seperti Google Scholar dan Questia.
Bahkan ada satu proyek besar untuk pendigitalkan buku yang disebut
dengan nama project gutenberg. Proyek tersebut memiliki misi utama
mendigitalkan buku-buku yang sudah berstatus public domain. Juga sudah seharusnya pemerintah, termasuk pemerintah provinsi, kabupaten dan kota untuk membiayai penerbitan electronik book (e-book) sebagai buku pedoman bagi
peserta didik terutama sekali bagi jenjang sekolah dasar dan sekolah
menengah yang dapat diakses dengan mudah dimana saja dengan fasilitas
internet. Dengan adanya buku digital tersebut akan memudahkan mencari
informasi sebagai bahan ajar secara cepat dengan mengakses mesin
pencari, seperti situs-situs Google dan Yahoo! Selain itu ada wikipledia
yang merupakan sarana media informasi yang melimpah mengenai berbagai
hal. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa wikipledia adalah
ensiklopedia terbuka yang dapat diakses dengan mudah oleh peserta didik.
Bukan hanya mengakses, peserta didik bisa juga mengisikan (meng-upload) hal-hal baru sehingga informasi dapat disebar yang tidak hanya lingkup kelas, tetapi lingkup dunia.
Keuntungan
lain bagi guru adalah kesanggupan komputer untuk menyajikan teks
nonsekuensial, nonlinear, dan multidimensional dengan percabangan tautan
dan simpul secara interaktif. Tampilan tersebut akan membuat peserta
didik lebih leluasa memilih, mensintesa, dan mengelaborasi pengetahuan
yang ingin dipahaminya. Hal ini dapat mengakomodasi mereka yang lamban
menerima pelajaran. Komputer tidak pernah bosan, sangat sabar dalam
menjalankan instruksi seperti yang diinginkan. Kondisi ini sungguh
sangat berbeda sekali dengan guru yang tidak mungkin sabar menjelaskan
hal yang sama terus menerus pada peserta didik yang daya cernanya
termasuk papan bawah. Selain itu peserta didik yang pintar dan cepat
mengerti dapat terus langsung melanjutkan materi pelajarannya tanpa
perlu dihalangi dan distandarisasi sama dengan peserta didik lainnya.
Inilah iklim afektif dari pemanfaatan TIK dengan bahan ajar digital.
Pengelolaan
kelas akan menekankan pada aspek pengaturan lingkungan dimana sangat
berbeda dengan pembelajaran biasa yang lebih menekankan aspek mengelola
atau memproses materi pelajaran. Pengelolaan
kelas memungkinkan mengkondisikan kelas yang optimal bagi terjadinya
proses belajar, yang meliputi: pembinaan, penghentian perilaku peserta
didik yang menyeleweng, pemberian ganjaran, penyelesaian tugas secara
tepat waktu, dan penetapan norma kelompok yang produktif. Pengelolaan
kelas ini mencakup pengaturan peserta didik dan fasilitas. TIK sendiri
juga termasuk dalam pengaturan fasilitas untuk menunjang iklim
konduksif, baik iklim kognitif maupun afektif dan skill. Iklim skill
adalah yang paling dominan tercapai karena dapat meningkatkan kemampuan
menulis, berkomunikasi dan mengakses pengetahuan dengan cepat, mudah
dan tepat.
Transformasi
pengelolaan kelas dari konvensional menjadi kontemporer dengan
mengaplikasikan kemajuan TIK berbasis internet dan materi ajar yang
digital memerlukan kerja keras dan kemauan yang dimotivasi oleh
panggilan jiwa guru tersebut untuk menjadi seorang guru profesional.
Guru harus mampu menggali potensi peserta didiknya yang dapat
teraktualisasi dengan ketuntasan belajar. Tantangan bagi guru. Apakah
guru akan melewati transformasi ini dengan mulus?